PEREKONOMIAN INDONESIA



Sejarah Perekonomian Indonesia

  • ·          Era Pra-Kolonial

Periode Pra-Kolonialisme adalah masa berdirinya kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke – 5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah nusantara (sekitar abad ke-15 sampai ke-17), pada masa itu RI belum berdiri.
Perdagangan di masa kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Perdagangan barter banyak berlangsung dalam system perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau Impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain, sistem pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
 Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah di Maluku.
Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll. Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa sangat mengandalkan jalur laut. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Inonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke 13-15) maupun Banten (abad ke 17-18) merupakan kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.


  • Era Kolonial


Setelah VOC dibubarkan, maka wilayah Nusantara atau saat itu lebih disebut Hindia Belanda dikuasai langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan di mana salah satu penyebabnya adalah praktik korupsi dalam kongsi dagang tersebut. Sebuah pelajaran bahwa korupsi adalah sebuah penyakit yang sudah ada sejak dahulu dan berdampak buruk terhadap eksistensi suatu organisasi.
Lalu bagaimana dengan kondisi perekonomian Hindia Belanda pada saat dikuasai pemerintah kolonial Belanda? Jika dilihat dari siapa yang menikmati produktivitas perekonomian, tidak jauh berbeda dengan masa pendudukan VOC. Rakyat pribumi memperoleh manfaat yang paling sedikit, karena keuntungan dari produktivitas itu lebih banyak mengalir ke negara penjajah. Yang sedikit membedakan antara pendudukan VOC dengan pendudukan pemerintah kolonial Belanda adalah:
1.       VOC menganggap wilayah Hindia Belanda sebagai lahan untuk memperoleh bahan baku dan tenaga kerja yang murah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini mengingat VOC adalah kongsi dagang. Jika suatu saat nanti wilayah Hindia Belanda sudah habis bahan baku, atau tenaga kerjanya, atau dalam hitung-hitungan tidak bisa menghasilkan keuntungan, bisa jadi VOC akan meninggalkan Hindia Belanda.
2.        Pemerintah Belanda menganggap wilayah Hindia Belanda sebagai tanah jajahan, artinya sebagai wilayah kekuasaan negeri Belanda. Konsekuensinya adalah terdapat beberapa pembangunan infrastruktur yang tentunya dalam rangka kepentingan pemerintah kolonial untuk mempermudah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kebijakan ini di kemudian hari, dianggap membuat produktivitas ekonomi semakin baik dan rakyat pribumi mulai merasakan manfaatnya meskipun dalam porsi yang masih kecil.
Intinya, Hindia Belanda masih tetap dalam kondisi terjajah. Produktivitas ekonomi yang  terjadi tidak mengalir kepada rakyat, tapi dinikmati oleh orang-orang asing di mana Belanda paling besar, disusul pedagang asing Asia dan pengusaha lokal. Sementara itu, petani dan pekebun menerima manfaat paling sedikit. Sebuah kondisi yang menggambarkan perekonomian dikuasai oleh penguasa yang memang bukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi melakukan pemerataan distribusi pendapatan.
Pada masa pendudukan pemerintah kolonial, terjadi proses pembentukan pemerintah kolonial yang cukup panjang. Wilayah Hindia Belanda adalah sebagai tanah jajahan, oleh karena itu struktur pemerintahan, sistem hukum, termasuk infrastruktur harus dibangun untuk mempermudah mengatur jalannya pemerintah kolonial. Dengan kata lain, ini adalah  sistem ekonomi ekstraktif yang lebih sustainabledibandingkan masa pendudukan VOC untuk menyerap kekayaan SDAwilayah Hindia Belanda. 
Pada masa pendudukan pemerintah kolonial, terdapat beberapa peristiwa dan kebijakan ekonomi yang cukup penting, sebagai berikut.
1.       Tahap awal pembentukan pemerintah kolonial (1800-1830)
2.       Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
3.       Kebijakan Ekonomi Liberal (1870-1933)
4.       Masa Depresi Dunia dan kedatangan Bangsa Jepang (1930-1942)

 
Tahap Awal (1830-1870)
Pada awal pembentukan pemerintah kolonial, Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial berusaha melakukan perubahan-perubahan antara lain: mereformasi birokrasi peninggalan VOC dengan memisahkan secara jelas fungsi publik dengan fungsi komersial; Menghilangkan hak-hak istimewa para penguasa tradisional (seperti hak mewariskan kedudukan raja kepada keturunannya), menghapus beberapa bentuk kerja paksa, dan mengurangi peran birokrasi “feodal” yang banyak dimanfaatkan VOC. Dan yang paling menonjol adalah pembangunan jalan Anyer-Penarukan yang ironisnya justru dengan menggunakan sistem kerja rodi. 
Pada tahun 1811 s.d 1816, Inggris merebut wilayah Hindia Belanda darikekuasaan Belanda, dan pada masa itu Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Pada masa itu, Raffles berusaha menerapkan sistem pajak sewa tanah untuk menggantikan semua setoran paksa, upeti dan pungutan feodal lainnya. Namun kebijakan ini tidak berjalan dengan mulus karena beberapa kendala di lapangan.
Pada tahun 1816, Belanda kembali menguasai Hindia Belanda, peristiwa pergantian kekuasaan ini terkait erat dengan peristiwa perang Napoleon di Eropa. Pemerintah kolonial melanjutkan lagi beberapa kebijakan yang bersifat mereformasi kebijakan VOC sebelumnya, antara lain: mengumpulkan data statistik kondisi ekonomi di Jawa untuk kepentingan pajak, merekrut personel baru dari Belanda untuk mereformasi birokrasidan mengurangi peran birokrasi tradisional. Namun, kebijakan ini juga mengalami beberapa hambatan yaitu: timbulnya resistensi, membutuhkan anggaran yang besar, dan pecahnya Perang Diponegoro tahun 1825 s.d 1830 yang memakan biaya yang cukup besar.
Sistem Tanam Paksa (1830-1870) 
Sistem ini dilatarbelakangi oleh defisit anggaran dan akibat menghadapi perang Diponegoro. Sistem ini pada dasarnya sama dengan VOC, di mana mengharuskan rakyat menyetor komoditas-komoditas tertentu yang laku keras di Eropa. Komoditas tersebut dibeli oleh pemerintah dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan ini benar-benar memperbaiki anggaran pemerintah kolonial maupun pemerintah Belanda bahkan bisa mencapai surplus.
Namun demikian praktik sistem tanam paksa ini banyak menuaikecaman dari beberapa pihak, termasuk dari tokoh Belanda bernama Douwes Dekker. Kecaman tersebut mulai timbul ketika tahuin 1840-an terjadi kegagalan panen yang menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan pada penduduk Jawa. Setelah 1850-an kebijakan sistem tanam paksa mulai dilonggarkan dan sejak tahun 1870 sistem tanam paksa dihentikan. Maka, muncullah kebijakan ekonomi baru yaitu kebijakan ekonomi liberal. Kebijakan ini juga dipengaruhi oleh kondisi Eropa yang sedang trend untuk menerapkan sistem ekonomi liberal.
Kebijakan Ekonomi Liberal (1870-1933)
Pada pertengahan abad ke-19, terjadi perkembangan politik yang cukup penting, yaitu paham liberalisme di sebagian besar negara-negara Eropa termasuk Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa paham liberalisme ini mengutamakan hak dan kebebasan individu dalam kegiatan sosial, politik dan ekonomi. Perkembangan ini juga ikut mewarnai tatanan politik ekonomi dan sosial (khususnya ekonomi) di negara-negara jajahan termasuk Hindia Belanda. Pada prinsipnya, tiap individu bebas untuk melakukan kegiatan ekonomi secara sukarela. Tidak ada unsur pemaksaan dalam melakukan kegiatan ekonomi termasuk  dalam penggunaan lahan dan tenaga kerja. Politik tanam paksa mulai dihapus, meski dalam praktiknya masih ada perintah dan paksaan di tingkat petani, pekebun dan masyarakat awam. Kebijakan yang menonjol pada masa itu adalah membuka lebar kesempatan bagi usaha swasta untuk berinvestasi di Hindia Belanda dan pemerintah membatasi diri pada fungsi pemerintahan. Kebijakan ini juga didukung dengan adanya pengembangan infrastruktur berupa peraturan, sistem pemerintahan, sistem keuangan dan tentu saja pembangunan sarana yang bersifat fisik. 
Peraturan tersebut antara lain Undang-undang Gula dan Undang-undang Agraria. Sistem pemerintahan antara lain dengan memanfaatkan birokrasi tradisional menjadi ujung tombak di lapangan, sedangkan pemerintah Belanda sebagai pendamping dan pengarah bagi birokrat lokal tersebut. Terdapat dualisme sistem administrasi pemerintahan dimana yang satu adalah dari pemerintah kolonial, biasanya berupa jabatan residence, asisten residence dst. Sementara itu di sisi lain ada pejabat lokal, yaitu berupa jabatan bupati, wedana, dst. Pada  level jabatan yang sama terdapat hubungan koordinasi antar pejabat. Birokrasi seperti ini berjalan cukup baik dan dikatakan sebagai birokrasi yang efisien. Sistem hukum juga terjadi dualisme di mana penduduk asli tunduk pada hukum adat sedangkan orang Eropa (termasuk korporasi) tunduk pada sistem hukum kolonial yang diambil dari sistem hukum Belanda. Kepastian hukum ini yang memicu investasi besar-besaran, terutama setelah tahun 1870. Dualisme sistem hukum ini mengakibatkan dualisme dalam kemajuan ekonomi kedua kelompok tersebut.  Sementara itu, bidang keuangan juga mengalami perkembangan dengan pembentukan De Javasche Bank pada tahun 1826 (De Javasche Bank ini yang kemudian menjadi Bank Indonesia). De Javasche Bank ditugasi sebagai bank sirkulasi, bank yang mengedarkan gulden sebagai alat tukar utama di Hindia Belanda. Kebijakan ini menggeser berbagai ragam mata uang yang sebelumnya banyak beredar. Pembangunan infrastruktur secara fisik juga mengalami perkembangan, misalnya pembangunan jalan Anyer-Penarukan, Jaringan telegraf, jalur kereta api dan sistem irigasi modern.
Politik Etis (1900-1930)
Pada masa kebijakan ekonomi liberal, terdapat peristiwa politik etis. Kebijakan ini timbul dari opini masyarakat Belanda untuk “membalas budi” kepada penduduk Hindia Belanda. Surplus ekonomi akibat sistem tanam paksa telah berhasil menyelamatkan negeri Belanda dari kebangkrutan, namun rakyat Hindia Belanda menderita. Politik etis ini diimplementasikan dalam beberapa program, yaitu: irigasi, pendidikan, dan migrasi (transmigrasi). Irigasi ini sedikit banyak bisa membantu perkembangan pertanian. Sektor pendidikan berdampak pada munculnya kesadaran berpolitik para pemuda pada masa itu untuk memperjuangkan kemerdekaan lewat jalur politik.
Bagaimana dengan Kesejahteraan Rakyat?
Jika membahas tentang kebijakan ekonomi, tidak akan lepas dari bagaimana kesejahteraan rakyatnya. Pada masa sistem tanam paksa, taraf hidup rakyat khususnya di Jawa dikatakan buruk. Namun dengan kebijakan ekonomi liberal dan adanya politik etis, taraf hidup rakyat mulai membaik. Namun demikian, terjadi ketimpangan yang cukup besar antara pribumi, asing asia, dan Eropa. Ketimpangan ini yang menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan terpelajar pribumi sehingga memperbesar hasrat untuk merdeka.
Masa Depresi Dunia dan Kedatangan Bangsa Jepang (1930-1942)
Pada tahun 1930-an terjadi peristiwa “The Great Depression” yang membuat perekonomian dunia menjadi lesu. Peristiwa ini sekaligus membuat teori ekonomi liberal menjadi dipertanyakan sehingga memunculkan gagasan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatur perekonomian. Peristiwa tersebut mempengaruhi kondisi perekonomian Hindia Belanda karena lesunya permintaan di luar negeri. Komoditas ekspor sulit mendapatkan pembeli dan harganya anjlok. Hal ini berdampak pada perekonomian dalam negeri, dengan melemahnya daya beli dan PHK. Kondisi tersebut sebenarnya konsekuensi adanya kebijakan ekonomi liberal dan keterbukaan perekonomian (ekspor impor tanpa hambatan). 
Pemerintah kolonial segera merespon dengan melakukan kebijakan proteksi dan substitusi impor. Impor mulai dibatasi, dan mulai memproduksi barang di dalam  negeri sebagai pengganti barang yang sebelumnya diimpor. Dengan kata lain perekonomian domestik akan diperkuat. Kebijakan ini mulai memperbaiki perekonomian pada masa itu. Hingga akhirnya tahun 1942, Jepang menyerang wilayah Asia Pasifik termasuk wilayah Hindia Belanda, sehingga Hindia Belanda jatuh ke kekuasaan Jepang. Sebagaimana kita tahu Jepang menguasai Indonesia dari tahun 1942 s.d 1945. 
Kedatangan bangsa Jepang semula diharapkan akan membebaskan Indoensia dari penjajahan Belanda. Namun yang terjadi, Jepang juga melakukan hal yang tidak berbeda. Menjajah Indonesia dan mengeruk kekayaan alamnya. Pada masa pendudukan Jepang, sumber daya baik alam maupun manusia, digunakan untuk kepentingan perang Jepang melawan Sekutu. Jika dilihat dari perekonomian dapat dikatakan buruk, apalagi jika dilihat dari kesejahteraan, lebih buruk dari sebelumnya, karena adanya perang. Sejarah mencatat, Jepang mengalami kekalahan dan menyerah kepada Sekutu. Indonesia segera meproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Negara Indonesia terlahir, dan memasuki babak baru, termasuk dalam perekonomiannya. Kondisi terjajah selama ratusan tahun, terlibat dalam perang antara Jepang dan Sekutu, serta
perang mempertahankan kemerdekaan, sangat mempengaruhi kondisi perekonomian pada awal-awal kemerdekaan.

Era Orde Lama
Indonesia mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden Soekarno. Fase pertama yakni penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase krisis yang mengakibatkan inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita Indonesia sebesar Rp 5.523.863.
Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74 persen. Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia tumbuh 5,74 persen. Lalu, pada 1963, pertumbuhannya minus 2,24 persen.
Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi melambung atau hiperinflasi sampai 600 persen hingga 1965.
Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke angka positif pada 1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965, angka itu masih positif meski turun menjadi 1,08 persen. Terakhir di era Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia tumbuh 2,79 persen. 

·         Era Orde Baru
Masa kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain Indonesia hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada eranya.
Ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.
Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tembus 10,92 persen pada 1970.
Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen.
Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos.
Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70 persen perekonomian dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos itu tak bisa menopang perekonomian nasional.
"Ketika krisis, pemerintah kehilangan pijakan, ya bubarlah perekonomian Indonesia karena sangat bergantung pada pemerintah," kata Lana.
Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI hanya alat penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi tinggi hingga 80 persen.
Pada 1998, negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13 persen.
Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan kebijakan ekonomi di segala lini.


·         Era Reformasi

·         BJ Habibie (1998-1999)

Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. 
Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998.
Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.

·         Abdurahman Wahid (1999-2001)
Abdurahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia tumbuh 4,92 persen pada 2000.
Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi dana secara berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi 3,64 persen. 


·         Megawati Seokarno Putri (2001-2004)

Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen dari 3,64 persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada 2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004.
"Saat itu mulai ada tanda perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu juga dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi.

·         Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Meski naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan Indonesia cukup menggembirakan di awal pemerintahannya, yakni 5,69 persen pada 2005.
Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5 persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya 6,35 persen.
Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski turun tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.

Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas global naik.

"Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi, harga komoditas melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita memang tinggi, tapi impornya lebih tinggi," tambah dia.
Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di dunia.
Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang.



Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014. 

·         Jokowi Widodo (2014-Sekarang)

Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing.
Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY.
Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen.
"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang cenderung turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam implementasinya. 

Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga. 
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17.
Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis 2018 secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.
Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal sebelumnya.
Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah 5 persen.






Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
Sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy)dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Hingga saat ini, sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan.
Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan jangka menengah (2004-2009). Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
PERMASALAHAN
Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:          
Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Hutan merupakan salah satu sumber daya yang penting, tidak hanya dalam menunjang perekonomian nasional tetapi juga dalam menjaga daya dukung lingkungan terhadap keseimbangan ekosistem dunia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 adalah 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001. Salah satu akibatnya jumlah satwa Indonesia yang terancam punah tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Praktik penebangan liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Akibatnya, DAS berkondisi kritis meningkat dari yang semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 DAS pada tahun 1992 dan 1998. Pada saat ini diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis. Kerusakan DAS tersebut juga dipacu oleh pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah tangga.
Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya.  Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan.  Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian.  Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.


Citra pertambangan yang merusak lingkungan. Sifat usaha pertambangan, khususnya tambang terbuka (open pit mining), selalu merubah bentang alam sehingga mempengaruhi ekosistem dan habitat aslinya. Dalam skala besar akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Dengan citra semacam ini usaha pertambangan cenderung ditolak masyarakat. Citra ini diperburuk oleh banyaknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang sangat merusak lingkungan.
Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity).Sampai saat ini 90 jenis flora dan 176 fauna di Pulau Sumatera terancam punah. Populasi orang-utan di Kalimantan menyusut tajam, dari 315.000 ekor di tahun 1900 menjadi 20.000 ekor di tahun 2002. Hutan bakau di Jawa dan Kalimantan menyusut tajam, disertai rusaknya berbagai ekosistem. Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang dilatarbelakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Pencemaran air semakin meningkat. Penelitian di 20 sungai Jawa Barat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa angka BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand)nya melebihi ambang batas. Indikasi serupa terjadi pula di DAS Brantas, ditambah dengan tingginya kandungan amoniak. Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dari pencemaran air tersebut. Kualitas air permukaan danau, situ, dan perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Umumnya disebabkan karena tumbuhnya phitoplankton secara berlebihan (blooming) sehingga menyebabkan terjadinya timbunan senyawa phospat yang berlebihan. Matinya ikan di Danau Singkarak (1999), Danau Maninjau (2003) serta lenyapnya beberapa situ di Jabodetabek menunjukkan tingginya sedimentasi dan pencemaran air permukaan. Kondisi air tanah, khususnya di perkotaan, juga mengkhawatirkan karena terjadinya intrusi air laut dan banyak ditemukan bakteri Escherichia Coli dan logam berat yang melebihi ambang batas.
Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun.Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup mengkhawatirkan, dan di enam kota diantaranya, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru dalam satu tahun hanya dinikmati udara bersih selama 22 sampai 62 hari saja. Senyawa yang perlu mendapat perhatian serius adalah partikulat (PM10), karbon monoksida (CO), dan nitrogen oksida (NOx). Pencemaran udara utamanya disebabkan oleh gas buang kendaraan dan industri, kebakaran hutan, dan kurangnya tutupan hijau di perkotaan. Hal ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia seperti chlorofluorocarbons (CFCs), halon, carbon tetrachloride, methyl bromide yang biasa digunakan sebagai refrigerantmesin penyejuk udara, lemari es, spray, dan foam. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan perusak ozon (BPO) atau ODS (ozone depleting substances). Indonesia terikat Montreal Protocol dan Kyoto Protocol yang telah diratifikasi untuk ikut serta mengurangi penggunaan BPO tersebut, namun demikian sulit dilaksanakan karena bahan penggantinya masih langka dan harganya relatif mahal.
Selain permasalahan tersebut di atas, juga terdapat berbagai permasalahan lain yang pada akhirakhir ini justru sangat menonjol, termasuk masalah-masalah sebagai dampak dari bencana dan permasalahan lingkungan lainnya yang terjadi karena fenomena alam yang bersifat musiman.
Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal dilaksanakan. Sejak tahun 1970-an hutan telah dimanfaatkan sebagai mesin ekonomi melalui ekspor log maupun industri berbasis kehutanan. Sistem pengelolaan hutan didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu secara tidak transparan tanpa mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun pemerintah daerah. Saat ini sekitar 28 juta hektar hutan produksi pengelolaannya dikuasai oleh 267 perusahaan HPH atau rata-rata 105.000 hektar per HPH. Kontrol sosial tidak berjalan, kasus KKN marak, dan pelaku cenderung mengejar keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Pada masa yang akan datang, sistem pengelolaan hutan harus bersifat lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang memperhatikan aspek ekonomi – sosial – lingkungan secara bersamaan.
Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum jelas. Otonomi daerah telah merubah pola hubungan pusat–daerah. Titik berat otonomi daerah di Kabupaten/Kota mengakibatkan pola hubungan Pemerintah Pusat–Propinsi–Kabupaten/Kota berubah, dan karena kurang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menjadi berbeda-beda penafsirannya. Akibatnya kondisi hutan cenderung tertekan karena belum ada kesepahaman antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek pengelolaan hutan secara ideal, sementara aspek kewenangan pengelolaan hutan tidak terakomodasi secara jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, walaupun sudah menegaskan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, bagi hasil, penyerasian lingkungan dan tata ruang, masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih lanjut.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu. Tingginya biaya pengelolaan hutan, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum mengakibatkan perencanaan kehutanan kurang efektif atau bahkan tidak berjalan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri, dan tindakan illegal lainnya banyak terjadi. Diperkirakan kegiatan-kegiatan illegal tersebut saja telah menyebabkan hilangnya hutan seluas 1,2 juta hektar pertahun, melebihi luas hutan yang ditebang berdasarkan ijin Departemen Kehutanan. Selain penegakan hukum yang lemah, juga disebabkan oleh aspek penguasaan lahan (land tenure) yang sarat masalah, praktik pengelolaan hutan yang tidak lestari, dan terhambatnya akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Rendahnya kapasitas pengelola kehutanan. Sumber daya manusia, pendanaan, saranaprasarana, kelembagaan, serta insentif bagi pengelola kehutanan sangat terbatas bila dibandingkan dengan cakupan luas kawasan yang harus dikelolanya. Hal ini mempersulit penanggulangan masalah kehutanan seperti pencurian kayu, kebakaran hutan, pemantapan kawasan hutan, dan lain-lain. Sebagai contoh, jumlah polisi hutan secara nasional adalah 8.108 orang. Hal ini berarti satu orang polisi hutan harus menjaga sekitar 14.000 hektar hutan. Dengan pendanaan, sarana dan prasarana yang terbatas, jumlah tersebut jelas tidak memadai karena kondisi yang ideal satu polisi hutan seharusnya menangani 100 hektar (untuk kawasan konservasi di Jawa), sementara untuk kawasan konservasi di luar Jawa sekitar 5.000 hektar. Di samping itu, partisipasi masyarakat untuk ikut serta mengamankan hutan juga sangat rendah.
Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan dari ekosistem hutan, seperti nilai hutan sebagai sumber air, keanekaragaman hayati, udara bersih, keseimbangan iklim, keindahan alam, dan kapasitas asimilasi lingkungan yang memiliki manfaat besar sebagai penyangga sistem kehidupan, dan memiliki potensi ekonomi, belum berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai jasa ekosistem hutan jauh lebih besar dari nilai produk kayunya. Diperkirakan nilai hasil hutan kayu hanya sekitar 7 persen dari total nilai ekonomi hutan, sisanya adalah hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan. Dewasa ini permintaan terhadap jasa lingkungan mulai meningkat, khususnya untuk air minum kemasan, obyek penelitian, wisata alam, dan sebagainya. Permasalahannya adalah sampai saat ini sistem pemanfaatannya belum berkembang secara maksimal.
Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga.Wilayah laut ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand. Sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian barat dan timur), Malaysia, dan Timor Leste. Penyebabnya karena Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang pengelolaan wilayah laut, termasuk lembaga yang memiliki otorita mengatur batas wilayah dengan negara tetangga. Di samping itu, kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional juga masih lemah, sehingga merupakan kendala tersendiri yang perlu diatasi. 
Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal. Sektor kelautan menyumbang sekitar 20 persen dari PDB nasional (2002). Kontribusi terbesar berasal dari migas, diikuti industri maritim, perikanan, jasa angkutan laut, wisata bahari, bangunan laut, dan jasa-jasa lainnya. Namun demikian, bila dibandingkan dengan potensinya, sumber daya laut masih belum tergarap secara optimal. Kebijakan pembangunan nasional selama ini cenderung terlalu berorientasi ke wilayah daratan, sehingga alokasi sumber daya tidak dilakukan secara seimbang dalam mendukung pembangunan antara wilayah darat dan laut.
Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak. Pencurian ikan (illegal fishing), baik oleh kapal-kapal domestik dengan atau tanpa ijin maupun kapal-kapal asing di perairan teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), menyebabkan hilangnya sumber daya ikan sekitar 1-1,5 juta ton per tahun dengan nilai kerugian negara sekitar US$ 2 milyar. Hal ini diperburuk oleh upaya pengendalian dan pengawasan yang belum optimal akibat kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut. Selain itu, jumlah dan kapasitas petugas pengawas, sistem pengawasan, partisipasi masyarakat, dan koordinasi antar instansi terkait juga masih lemah. Sementara itu, penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) seperti penggunaan bahan peledak dan racun (potasium) masih banyak terjadi, yang dipicu oleh meningkatnya permintaan ikan karang dari luar negeri dengan harga yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat penting.
Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal. Indonesia memiliki banyak sekali pulaupulau kecil, tetapi lebih dari tiga dasawarsa terakhir pulau-pulau kecil tersebut kurang atau tidak memperoleh perhatian dan atau tersentuh kegiatan pembangunan. Pulau kecil, yang didefinisikan sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km² yang umumnya jumlah penduduknya kurang dari 200.000 jiwa, sangat rentan terhadap perubahan alam karena daya dukung lingkungannya sangat terbatas dan cenderung mempunyai spesies endemik yang tinggi. Ciri lainnya adalah jenis kegiatan pembangunan yang ada bersifat merusak lingkungan pulau itu sendiri atau “memarjinalkan” penduduk lokal. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa pulau kecil yang berpotensi memiliki konflik dengan pihak asing, terutama pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan.  Pada saat ini terdapat 92 pulau-pulau kecil menjadi base point (titik pangkal) perbatasan wilayah RI dengan 10 negara-negara tetangga. Sampai sekarang baru dengan satu negara, yaitu Australia telah dibuat perjanjian yang menetapkan pulau-pulau kecil Nusantara sebagai titik pangkal batas wilayah. Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang ada, yang berbeda pola pendekatannya dengan pulau-pulau besar lainnya. Pada saat ini telah tersusun rancangan Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang integratif sebagai dasar pengembangannya.
Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan.  Banyak wilayah Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Secara geografis Indonesia terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Disamping itu, juga merupakan wilayah pertemuan arus panas dan dingin yang berada di sekitar Laut Banda dan Arafura. Kondisi ini, dari satu sisi, menggambarkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami dan taufan. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan sistem kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam tersebut akan mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang telah dibangun; seperti yang terjadi di NAD, Sumatra Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam jangka menengah ini, pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara lain melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu mengurangi dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan “kawasan rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara baik, dan rencana tata ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi, serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan terumbu karang) di wilayah pesisir.
Terjadinya penurunan kontribusi migas dan hasil tambang pada penerimaan negara. Penerimaan migas pada tahun 1996 pernah mencapai 43 persen dari APBN, dan pada tahun 2003 menurun menjadi 22,9 persen. Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Cadangan minyak bumi dewasa ini sekitar 5,8 miliar barel dengan tingkat produksi 500 juta barel per tahun. Apabila cadangan baru tidak ditemukan dan tingkat pengurasan (recovery rate) tidak bertambah, maka sebelas tahun lagi cadangan minyak kita akan habis. Cadangan gas-bumi-terbukti tahun 2002 sebesar 90 TCF (trillion cubic feet) baru dimanfaatkan setiap tahun 2,9 TCF saja. Rendahnya tingkat pemanfaatan ini karena kurangnya daya saing Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang selalu siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli, sehingga dari sisi supply readinessIndonesia kurang bersaing. Pertambangan mineral seperti timah, nikel, bauksit, tembaga, perak, emas, dan batubara tetap memberikan kontribusi walaupun penerimaannya cenderung menurun. Penerimaan negara dari pertambangan pada tahun 2001 sebesar Rp2,3 triliun, tahun 2002 menjadi Rp1,4 triliun, dan tahun 2003 Rp1,5 triliun.
 Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan. Hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus dilalui  
 Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis. Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan pencemaran akibat limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan. Untuk limbah padat, hal ini membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sebagai gambaran, di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) umur operasi TPA rata-rata tinggal 3-5 tahun lagi, sementara potensi lahan sangat terbatas. Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di badan-badan air akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga memerlukan upaya pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sektor terkait. Semakin tingginya intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya kualitas udara, terutama di perkotaan. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan pengendalian gas buang  (emisi), baik industri maupun transportasi diperlukan sebagai upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Basel Convention,saat ini hanya ada satu fasilitas pengolahan limbah B3 yang dikelola swasta di Cibinong. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi dampak negatif limbah terutama limbah B3 terhadap lingkungan.
Adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) belum dilaksanakan. Fenomena kekeringan (El Niño) dan banjir (La Niña) yang terjadi secara luas sejak tahun 1990-an membuktikan adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6 °C akibat emisi gas rumah kaca (greenhouse gases)seperti CO2, CH4, dan NOx dari negara-negara industri maju. Sampai tahun 2100 mendatang suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8 °C. Keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut mutlak dilakukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kesehatan, pertanian, permukiman, dan tata-ruang. Di lain pihak, isu perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia, yang telah meratifikasi Kyoto Protocol, di mana negara-negara industri maju dapat ‘menurunkan emisinya’ melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara berkembang seperti Indonesia.
Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan. Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan negara, maka upaya pendanaan alternatif harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism)Trust Fund Mechanism, dan green tax. Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan negara sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain itu, perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber pendanaan dalam negeri dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan pendanaan melalui lembaga keuangan maupun lembaga independen lainnya.
Isu lingkungan global belum dipahami dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan daerah. Tumbuhnya kesadaran global tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin buruk, telah mendesak seluruh negara untuk merubah paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Untuk itu telah dihasilkan 154 perjanjian internasional dan multilateral agreement yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan isu lingkungan global. Indonesia telah meratifikasi 14 perjanjian internasional di bidang lingkungan tetapi sosialisasi, pelaksanaan dan penaatan terhadap perjanjian internasional tersebut kurang mendapat perhatian sehingga pemanfaatannya untuk kepentingan nasional belum dirasakan secara maksimal. Selain itu, masukan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional di berbagai konvensi internasional juga masih terbatas mengingat lemahnya kapasitas institusi, sumber daya manusia, serta sistem perwakilan Indonesia di berbagai konvensi tersebut. Dengan aktifnya Indonesia pada perjanjian perdagangan baik regional seperti AFTA dan APEC atau global seperti WTO, maka pembangunan nasional dan daerah perlu mengantisipasi dampaknya terhadap lingkungan.
Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup. Hukum lingkungan atau peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup masih kurang bersinergi dengan peraturan perundangan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan baik peraturan perundangan yang ada baik di tingkat nasional maupun peraturan perundangan daerah. Untuk memberikan penguatan sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Nivea White Make Up Starter 2 in 1 Moisturizing Day Serum

Application Letter

POLA INVESTASI PADA KOPERASI